Kamis, 26 Februari 2009

model-model konflik ledok


  

MODEL-MODEL SOLUSI KONFLIK LEDOK
(Studi deskriptif konflik antara pemilik ledok dan pemilik truk
Di Kabupaten Blitar)

THE TYPES SOLUTION OF LEDOK CONFLICT

(A descriptive study on the conflict between the ledok owners and the truck owners in Blitar Regency)


PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :

RISTO PRASETYO
NIM. 050910302201

 
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2009

 
1.PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Salah satu dampak yang ditimbulkan dari terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 yang kemudian menjalar menjadi krisis multidimensi yang terjadi pada berbagai sektor adalah munculnya berbagai masalah sosial (social problem) yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Masalah pengangguran yang diikuti oleh angka kemiskinan yang semakin tinggi adalah salah satu dampak yang ditimbulkan. Pengangguran dan kemiskinan merupakan dua hal yang saling terkait dan selalu berhubungan dengan persoalan kesejahteraan masyarakat. Salah satu data menyebutkan bahwa sekitar 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah pengangguran (underemployed) terjadi bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia. (www. Tempointeraktif.com). Hal tersebut membuktikan bahwa pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah yang cukup rentan untuk menimbulkan terjadinya masalah-masalah lain yang terjadi di masyarakat, salah satunya konflik sosial.
 Konflik sosial yang terjadi di Indonesia jika kita telusuri lebih dalam akar muaranya adalah masalah kesejahteraan. Hal tersebut terbukti pasca tumbangnya Orde Baru di tahun 1998, yang mulai marak munculnya fenomena yang memprihatinkan, yaitu meningkatnya eskalasi konflik yang muncul di masyarakat. Konflik lokal yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat banyak terjadi dimana-mana dan menimbulkan korban dan kehancuran tatanan sosial. Seperti konflik di Sambas yang terjadi antara etnis Madura dan etnis Dayak pada 1999, yang mengakibatkan 150 orang meninggal dunia dan 10.000 orang menjadi pengungsi (http// wmc-iainws.com). Dan juga konflik-konflik lainnya yang mengakibatkan dampak kematian dan kerugian yang besar, diantaranya konflik Poso, Aceh, Papua, dan Maluku. 
Persoalan-persoalan konflik yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia tersebut kalau kita pahami lebih mendalam, tidak hanya disebabkan oleh persoalan SARA, agama, ataupun sentimen kedaerahan.
 Namun masalah kesejahteraan masyarakat menjadi penyebab yang mendasar yang mengakibatkan timbulnya potensi konflik. 
Ketimpangan kesejahteraan antar kelompok terhadap kelompok lain menjadi persoalan utama atau akar terjadinya konflik. Selain itu, perebutan sumber daya alam juga menjadi penyebab lain timbulnya konflik yang terjadi di dalam masyarakat.
 Pada dasarnya konflik merupakan fenomena yang selalu ada di dalam masyarakat dan merupakan suatu proses pendorong terjadinya perubahan sosial. Perubahan struktur, organisasi, pola perilaku, seringkali berubah karena diakibatkan terjadinya konflik. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sebagai kelompok-kelompok massal yang senantiasa terlibat dalam konflik antar pergaulan satu dengan yang lain. Perubahan kepentingan, orientasi dan juga kebutuhan yang berbeda menjadi salah satu sebab terjadinya konflik pada masyarakat.
 Disamping itu, pembangunan yang terjadi di Indonesia juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat tidak kunjung berkurang, namun sebaliknya semakin bertambah pelik. Konsep pembangunan dengan kebijakan top-down dengan negara memainkan peranan yang sangat dominan tidak serta merta mampu mengurangi masalah sosial yang terjadi. Hampir tidak terdapat ruang yang lebih terbuka bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki secara leluasa dalam pembangunan bangsanya. 
Seperti yang dinyatakan oleh Kusnadi (2006:1-2):
“Negara menganut model pembangunan pertumbuhan cepat (rapid growth development model). Dengan pola pembangunan yang seperti itu, akhirnya negara mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi di satu sisi Namun disisi lain kebijakan tersebut mengakibatkan minimnya kesempatan kerja yang diperoleh masyarakat, dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut tidak diikuti perluasan kesempatan kerja secara signifikan”.


Dengan adanya kebijakan pembangunan pertumbuhan yang cepat, seperti yang dikemukakan oleh Kusnadi. Diyakini bahwa kondisi perekonomian Indonesia sebagai negara berkembang atau negara dunia ketiga akan semakin baik. 
Yang diharapkan ketimpangan perekonomian dengan negara-negara maju tidak semakin bertambah lebar, dan kesejahteraan masyarakat akan semakin meningkat. Namun yang terjadi, perekonomian Indonesia semakin terpuruk, yang ditandai dengan peningkatan pengangguran dan angka kemiskinan yang semakin tinggi.
Seperti dikemukakan oleh Sudjana ( 2002: 8-9) :
“Paradigma ketenagakerjaan Orde Baru meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dengan sendirinya menyebar (multiplier effect), sehingga mampu menciptakan lapangan kerja dalam jumlah yang sebanding dengan pertumbuhan itu sebagaimana hitungan ekonometrik. Ternyata keyakinan ini tidak sepenuhnya benar. Lapangan kerja tidak dengan sendirinya terbuka hanya dengan menaikkan penanaman modal dan investasi. Justru sering berefek sebaliknya pada industri-industri tertentu yang padat modal dan teknologi, ketika tenaga kerja menjadi tersubstitusi oleh mesin”.
 
 Lebih lanjut dipaparkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS, 2005: 34):

“Jumlah angakatan kerja meningkat selama tiga dekade. Tingkat partisipasi angkatan kerja meningkat dari 63,3 persen tahun 2004. akan tetapi peningkatan partisipasi angkatan kerja tersebut tidak diikuti oleh peningkatan tingkat kesempatan kerja. Sebaliknya peningkatan kesempatan kerja menurun secara perlahan dari 98,3 persen tahun 1980 menjadi 90,1 persen pada tahun 2004”. 

 Akibat yang muncul dari terbatasnya kesempatan kerja dibandingkan dengan tingkat partisipasi angkatan kerja yang terjadi di masyarakat menyebabkan terjadinya “penggemukan” di satu sisi, yaitu pengangguran itu sendiri. Hal tersebut menyebabkan angkatan kerja yang belum tersalurkan ke dalam sektor pekerjaan yang formal, menciptakan lapangan kerja baru yaitu sektor informal.
 Dari survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS, 2003) menyebutkan bahwa:
“Dari seluruh jumlah tenaga kerja yang sebanyak 57,8 juta orang . 43,89 juta orang atau 75,93 persen bekerja di sektor informal, dan sebanyak 24,07 persen bekerja di sektor formal. Sektor informal pedesaan memiliki angka yang besar di dalam pertumbuhan sektor informal yaitu sebanyak 39,22 juta orang atau 83,28 persen.

 Melihat besarnya angka masyarakat yang bekerja di sektor informal, sudah saatnya pemerintah sebagai pihak yang membuat regulasi membuat kebijakan yang lebih baik. Karena tidak dipungkiri bahwa sektor informal pada saat ini mampu menjadi katup penyelamat bagi permasalahan sosial ekonomi, seperti kesejahteraan. 
Namun tidak dapat dibantah bahwa keberadaan sektor informal dipandang miring oleh pemerintah. Seringkali karena ada kepentingan yang melibatkan pihak lain, sektor informal menjadi pihak yang dikorbankan.
 Demikian juga yang terjadi di Kabupaten Blitar. Sebagai kabupaten yang terletak di bagian barat provinsi Jawa Timur, terdapat fenomena menarik untuk dikaji secara sosiologis, yaitu pertentangan atau konflik antara pemilik truk dengan pemilik ledok. Menarik dikarenakan konflik tersebut melibatkan kelompok-kelompok masyarakat dalam memperjuangkan sumber penghasilannya. Karena salah satu pihak merasa tersaingi dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidupnya untuk tetap survive.
Ledok adalah kendaraan rakitan menyerupai truk yang dibuat oleh industri kecil dari kerangka besi, dan bermesin diesel yang digunakan untuk mengangkut mesin penggilingan beras, penggergajian kayu dan juga untuk angkutan barang. (surya.co.id/ledok/artikel). Sebenarnya ledok bukanlah kendaraan yang asing bagi masyarakat di Jawa Timur, meskipun nama yang digunakan berbeda, seperti di Karesidenan Besuki ledok disebut dengan gerandong. Di wilayah Blitar, diberi nama ledok dikarenakan suaranya yang keras berasal dari mesin diesel yang bunyinya dok.. dok.. dok.
Ledok di Kabupaten Blitar dibedakan menjadi dua jenis: 
1. Ledok Selep : ledok yang digunakan untuk mengangkut mesin penggiling padi dan juga penggilingan jagung. Ledok selep ini dalam beroperasi biasanya di jalan-jalan desa dan dari rumah ke rumah.
2. Ledok angkut : ledok yang digunakan sebagai alat angkut menyerupai truk yang biasanya digunakan untuk mengangkut material pasir, bahan bangunan lain.
Populasi ledok di Kabupaten Blitar sangat besar. Jumlah ledok di Kabupaten Blitar menurut perkiraan mencapai 1400 unit untuk ledok angkutan dan 1000 unit untuk ledok selep (surya.co.id/ledok/artikel). 
Keberadaan ledok di Kabupaten Blitar sangat banyak dikarenakan beberapa faktor, antara lain:
1. Lapangan kerja yang ada di Kabupaten Blitar tidak sebanding dengan angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan. Bidang pekerjaan yang paling banyak terdapat pada sektor pertanian. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat membuat lapangan kerja sendiri salah satunya membuat ledok untuk bisa tetap survive. 
2. Kondisi geografis Kabupaten Blitar memungkinkan ledok berkembang dengan pesat. Dengan sektor pertanian masih mendominasi kehidupan masyarakat, ledok menjadi alat angkut utama bagi masyarakat untuk mengangkut hasil pertaniannya. Hal tersebut dikarenakan murahnya biaya yang dikeluarkan untuk alat angkut ledok dibandingkan menggunakan alat angkut lain.
 Disamping itu keberadaan Gunung Kelud dan juga aliran Sungai Brantas yang memiliki kandungan pasir yang melimpah juga menyebabkan populasi ledok angkut tidak semakin berkurang, tapi justru semakin bertambah. Hal tersebut dikarenakan pasir mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi bagi pemilik ledok angkut sebagai objek angkutan.
Di satu sisi keberadaan ledok tersebut mampu memberikan sumbangsih untuk mengurangi angka pengangguran dan juga kemiskinan yang ada dalam masyarakat. Namun ternyata di sisi lain keberadaan ledok tersebut menimbulkan konflik. Keberadaan ledok menjadi perdebatan antar pemilik angkutan truk dan pemilik ledok.
 Ledok dipermasalahkan dikarenakan pemilik angkutan truk yang merupakan kendaraan resmi angkutan merasa terancam dengan keberadaan ledok yang semakin banyak. Pemilik truk merasa bahwa pemilik ledok merupakan ancaman serius dalam upayanya memperoleh penghasilan.
Berbeda dengan truk, ledok sebagai angkutan yang belum dilegalkan keberadaanya, tidak dikenai Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan juga uji KIR. Persoalan tersebut yang menjadi “senjata” bagi pemilik truk untuk melakukan protes terkait keberadaan ledok. Karena dengan tidak adanya pajak yang dikenakan kepada pemilik ledok dan juga sebagai kendaraan rakitan, dibandingkan dengan truk, ledok tidak memerlukan suku cadang yang mahal. Itu menyebabkan harga angkutan yang diberikan pemilik ledok kepada konsumen menjadi lebih murah. Sebagai contoh, harga pasir yang diangkut ledok setiap kubik (m3) sebesar Rp 100.000,- sampai Rp 120.000,-. Sedangkan untuk truk, setiap kubik pasir dihargai Rp 130.000,- sampai Rp 140.000,- . Selain itu angkutan pasir yang dibawa ledok juga lebih banyak dibandingkan truk. Hal tersebut menyebabkan permintaan jasa angkutan kepada ledok lebih tinggi dibanding dengan angkutan truk.
Berangkat dari kenyataan itulah dan juga didukung peraturan mengenai perijinan ledok yang dipertanyakan. Para pemilik truk memprotes keberadaan pengoperasian ledok tersebut. Karena menurut pemilik truk, ledok patut untuk dilarang. Karena keberadaan ledok tidak dilandasi oleh payung hukum yang jelas. 
Pada dasarnya, protes pemilik truk terkait keberadaan ledok, menimbulkan persoalan dilematis didalam perintah Kabupaten Blitar dan juga Kepolisian. Hal itu dikarenakan di satu sisi keberadaan ledok tersebut mampu mengurangi angka pengangguran yang semakin tahun semakin bertambah dan meningkatkan taraf hidup masyarakat yang semakin baik, serta mengurangi angka kemiskinan. Namun disisi lain peraturan undang-undang tentang lalu lintas dan angkutan jalan yang dengan jelas menyebutkan standart angkutan barang, termasuk adanya surat dan kelaikan jalan, yang dalam persoalan ini belum dimiliki oleh ledok.
Keberadaan ledok menimbulkan persoalan dilematis, karena menyangkut masing-masing kelompok dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut dikarenakan perbedaan kepentingan antara pemilik truk dengan pemilik ledok yang kemudian menimbulkan konflik. 

Kepentingan tersebut yaitu, pemilik truk menginginkan keberadaan ledok dilarang, karena telah menyebabkan penghasilan pemilik truk berkurang. Sebaliknya pemilik ledok menginginkan keberadaan ledok dilegalkan, karena telah membuka lapangan kerja baru bagi mereka.
Berangkat dari uraian di atas, penulis berminat untuk mengadakan penelitian dengan judul “MODEL-MODEL SOLUSI KONFLIK LEDOK (Studi deskriptif konflik antara pemilik truk dengan pemilik ledok di Kabupaten Blitar)”.

1.2 Rumusan Masalah
Konflik merupakan realita sosial yang selalu ada di dalam masyarakat. Masyarakat manusia di manapun mereka berada akan senantiasa menghadapi kemungkinan terjadinya konflik. Sepanjang peradaban manusia di muka bumi, konflik merupakan warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan. Konflik merupakan bagian dari dinamika sosial yang lumrah terjadi di setiap interaksi sosial dalam tahap pergaulan masyarakat.
 Faktor kepentingan yang merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik senantiasa akan terus terjadi. Karena kepentingan merupakan hal mendasar yang diperjuangkan manusia untuk mencapai tujuan. Terlebih kepentingan tersebut menyangkut pemenuhan kebutuhan. 
Demikian juga dengan konflik yang terjadi antara pemilik truk dan pemilik ledok. Seharusnya keberadaan ledok di Kabupaten Blitar mampu mengurangi angka pengangguran dan juga kemiskinan di masyarakat. Ledok sebagai usaha dari masyarakat telah banyak membantu masyarakat memperoleh sumber penghasilan baru untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat agar tetap survive. 
Namun kenyataannya, keberadaan ledok tersebut telah menyebabkan adanya pertentangan pada kelompok-kelompok masyarakat (pemilik ledok dan pemilik truk). Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya perebutan sumber pendapatan. Pemilik truk sebagai pihak yang mempunyai perizinan sebagai jasa angkutan resmi merasa tersaingi dengan keberadaan ledok tersebut. 
Hal tersebut menyebabkan terjadinya penurunan permintaan dari konsumen (masyarakat) sebagai pengguna jasa kepada pemilik truk. Akibat adanya perebutan sumber pendapatan tersebut menyebabkan timbulnya konflik antara pemilik truk dengan pemilik ledok. 
Konflik yang terjadi antara pemilik truk dengan pemilik ledok semakin rumit. Hal tersebut dikarenakan masing-masing kelompok tersebut berusaha memperjuangkan kepentingannya masing-masing demi menjaga eksistensi kelompoknya masing-masing. Yaitu terkait kepentingan antara desakan untuk menghapus keberadaan ledok yang diperjuangkan oleh pemilik truk dan desakan untuk melegalkan keberadaan ledok oleh para pemilik ledok di Kabupaten Blitar.
 Dari permasalahan di atas, maka penelitian ini dirumuskan menjadi sebuah pertanyaan, yaitu: Bagaimana model-model solusi yang dipakai untuk meredakan konflik yang terjadi antara pemilik truk dengan pemilik ledok di Kabupaten Blitar?

1.3 Pokok Bahasan
 Fokus kajian penelitian atau pokok masalah yang hendak diteliti, mengandung penjelasan mengenai dimensi-dimensi apa yang menjadi pusat perhatian serta kelak yang dibahas secara mendalam dan tuntas (Bungin, 2003: 41).
 Penelitian ini akan mengkaji tentang solusi yang digunakan untuk menyelesaikan atau mencari jalan keluar terhadap konflik yang terjadi antara pemilik truk dan pemilik ledok yang ada di Kabupaten Blitar. Yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi:
1. Mencari sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya konflik yang terjadi antara pemilik ledok dan pemilik truk. Selain itu, dibahas pula mengenai tipologi konflik yang terjadi antara pemilik ledok dengan pemilik truk.


2. Dengan mengetahui latar belakang dan juga tipologi konflik yang terjadi, sehingga dapat diketahui model-model solusi dan proses menuju solusi tersebut, yang dipakai oleh pihak yang berkonflik dan mediator yang berusaha mencari jalan keluar dari konflik tersebut.
Sehingga dengan adanya model-model solusi yang dilakukan tersebut, dapat menyelesaikan konflik antara pemilik truk dan pemilik ledok tersebut, ataukah timbul konflik baru dan masalah-masalah sosial lain pada pemilik truk dan pemilik ledok.

1.4. Tujuan Penelitian
Didalam sebuah penelitian pasti memiliki tujuan, untuk apa penelitian dilakukan. Menurut Hadi (1990:3):
“mengatakan bahwa “suatu research” dalam ilmu-ilmu empiris pada umumnya bertujuan untuk mengembangkan, menemukan dan mengkaji kebenaran suatu pengetahuan untuk mengisi kekosongan atau kekurangannya. Mengembangkan berarti memperluas dengan menggali lebih jauh atau lebih luas apa yang sudah ada”.

 Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendskripsikan tentang model-model solusi yang digunakan untuk meredakan konflik yang terjadi antara pemilik truk dengan pemilik ledok di Kabupaten Blitar. 

1.5. Manfaat Penelitian
 Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan informasi bagi kajian ilmu pengetahuan sosial, khususnya sosiologi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan masalah konflik.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Blitar pada khususnya dalam merumuskan kebijakan terkait keberadaan ledok. 

1.6. Tinjauan Pustaka  
1.6.1. Konsep Tentang Konflik
 Konflik merupakan fenomena yang selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia. Perbedaan orientasi dan kepentingan diantara individu dan kelompok masyarakat merupakan suatu hal yang alamiah dan tidak dapat dihindarkan. (www.wmc-iainws).
Max Weber dalam Susetiawan (2000:221) menyatakan :
“konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial. Konflik akan selalu ada didalam setiap kehidupan bermasyarakat. Perdamaian sebagai salah satu cara untuk meredakan konflik yang terjadi, tidak lebih dari sebuah perubahan dari bentuk konflik”. 

Konflik yang terjadi di dalam masyarakat dapat membawa keadaan yang baik karena akan mendorong terjadinya perubahan sosial. Namun konflik juga dapat menyebabkan keadaan yang semakin buruk apabila konflik tersebut berkelanjutan tanpa ada solusi yang bermanfaat bagi semua pihak yang berkonflik. Solusi mempunyai peranan yang sangat penting terhadap konflik, karena merupakan bagian akhir dari proses konflik yang terjadi. Penanganan konflik tidak hanya dicari sebabnya, tetapi juga cara mengatasi konflik.
Karl Marx (Ritzer, 2004: 170) menegaskan bahwa sistem ekonomi merupakan aspek terpenting didalam kehidupan manusia. Sistem ekonomi merupakan hal yang sangat berperan terhadap aspek-aspek lainnya. Aspek politik, agama, budaya sangat tergantung pada sistem ekonomi. Apabila ekonomi didalam masyarakat tidak dapat berjalan baik, maka aspek-aspek lainnya juga tidak akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, aspek ekonomi sampai sekarangpun masih merupakan faktor yang sangat fundamental bagi kelangsungan kehidupan manusia.
Marx terkenal dengan perjuangan kelas. Dalam pemahaman mengenai teori perjuangan kelas, Karl Marx memberikan tekanan pada dasar ekonomi untuk kelas sosial, khususnya kepemilikan alat produksi. Analisis Marx terletak pada sistem dua kelas, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. 

Marx melihat bahwa kelas proletar harus berjuang untuk memperjuangkan struktur tanpa kelas melawan kelas borjuis sebagai pemilik alat-alat produksi. Karena tanpa adanya perjuangan, maka kelas borjuis akan semakin memegang dominasi terhadap kelas proletar. 
Selain itu, Marx memberikan gambaran tentang konflik kelas revolusioner dan perubahan sosial. Marx berpendapat bahwa ekonomi akan menentukan sistem sosial yang ada didalam masyarakat.
Persoalan ekonomi sebagai penyebab konflik merupakan suatu hal yang tak terbantahkan (Sumarsono, 2008:117). Meskipun tidak setiap konflik yang terjadi didalam masyarakat ditimbulkan persoalan ekonomi. Ketersediaan sumber daya ekonomi pada suatu wilayah menjadi indikator yang sangat penting bagi kemungkinan terjadinya konflik.
“Semakin mudah sumber daya tersebut didapatkan oleh setiap orang, maka kemungkinan terjadinya konflik akan semakin rendah. Sebaliknya semakin langka sumber daya yang tersedia, sehingga terjadi kompetisi atau persaingan untuk mendapatkannya, maka kemungkinan terjadinya konflik akan semakin besar” (Sumarsono, 2008:117-118).

 Turner (Ranjabar, 2006: 215) mengemukakan bahwa struktur kelas dan susunan institusional, seperti nilai budaya, kepercayaan, dogma, agama/ religi dan sistem ide lain merupakan refleksi dari dasar-dasar ekonomi masyarakat.
Berdasarkan pernyataan dari tokoh-tokoh teori konflik diatas, dapat dipahami bahwa faktor ekonomi merupakan hal yang sangat fundamental dalam masyarakat. Persoalan ekonomi seringkali menimbulkan pertentangan di masyarakat. Akibat dari adanya pemenuhan kebutuhan yang tidak merata dalam masyarakat menyebabkan timbul pertentangan-pertentangan antar individu maupun kelompok dalam masyarakat. Preposisi abstrak Marx memberi landasan teoritis konflik dalam masyarakat.
Preposisi Marx tersebut adalah sebagai berikut (Ranjabar, 2006: 215):
“ Semakin terdapat ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber langka yang ada di dalam sistem, maka akan semakin besar terjadi konflik kepentingan antara segmen dominan dan subordinat. Semakin segmen subordinat menjadi sadar tentang kepentingan kolektif yang sesungguhnya, semakin cenderung mereka mempertanyakan legitimasi dari keberadaan pola distribusi sumber-sumber langka”.
Terkait dengan konflik antara pemilik truk dengan pemilik ledok, bahwa persoalan ekonomi menjadi dasar yang menyebabkan terjadinya konflik antara pemilik truk dengan pemilik ledok tersebut. Akibat dari adanya perebutan sumber pendapatan menyebabkan terjadi pertikaian antara pemilik truk dengan pemilik ledok.
Kepentingan masing-masing kelompok yang terlibat konflik semakin menambah rumit persoalan konflik yang terjadi. Hal tersebut dikarenakan masing-masing kelompok memperjuangkan yang menjadi tuntutannya agar tidak dikuasai oleh kelompok lain.
 Ranjabar ( 2006: 200-201), konflik berlaku dalam semua aspek relasi sosial yang bentuknya seperti dalam relasi antar individu, relasi individu dalam kelompok, ataupun antara kelompok dengan kelompok. Jadi secara umum, dapat dikatakan bahwa konflik mempunyai dua bentuk dalam masyarakat, yaitu bentuk kolektif dan bentuk individual.
Bentuk kolektif terjadi jika pihak yang berkonflik terdiri atas banyak orang dan kelompok. Sedangkan dalam konflik individual, yang melakukan konflik adalah antar individu. Konflik kolektif terjadi apabila anggota kelompok yang berkonflik mempunyai tujuan yang sama sehingga jika melakukan konflik individual, dirasa kurang efektif dan efisien. Konflik kolektif umumnya dianggap mempunyai dorongan atau energi yang kuat dibandingkan konflik individu. Para individu yang tergantung dalam kelompok yang berkonflik umumnya mempunyai solidaritas dan kebersamaan yang kuat. Konflik kolektif disamping jumlah orang atau kelompok yang terlibat banyak, juga mempunyai tingkat emosi yang sangat tinggi serta bersifat sangat rumit dibandingkan konflik individu. 

1.6.2. Konsep Tentang Solusi Konflik 
Pada dasarnya solusi konflik merupakan suatu konsep dan mekanisme yang ditawarkan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk mentransformasikan konflik yang pada mulanya bersifat destruktif menuju proses perubahan yang bersifat konstruktif. 
Penyelesaian konflik menuju situasi yang konstruktif sangat tergantung kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima tawaran-tawaran dan juga konsep penyelesaian dari pihak ketiga sebagai mediator demi terwujudnya perdamaian antar pihak yang berkonflik.
Seperti yang dikemukakan oleh Avruch dalam Francis (2002: 57) sebagai model penyelesaian konflik yang “restricted”.
“ Setiap pihak yang terlibat di dalam konflik yang memutuskan hasil yang diinginkannya, dari pada mengambil solusi yang ditawarkan pihak luar. Dimana peran pihak ketiga adalah membantu pihak-pihak yang terlibat untuk mencari jalan keluar yang saling menguntungkan”.

 Dalam pembahasan tersebut, jelaslah kiranya bahwa Avruch ingin mengungkapkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik harus mengutamakan tawaran penyelesaian yang ditawarkan oleh pihak ketiga sebagai mediator konflik. Karena pihak ketiga merupakan salah satu pelaku konflik yang bertugas mencari jalan keluar dari konflik yang terjadi.
 Solusi konflik atau penyelesaian konflik merupakan penanganan terhadap sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Solusi konflik dilakukan sebagai cara untuk mengurangi ketegangan-ketegangan pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang berkonflik.
 Terkait dengan pemilik truk dengan pemilik ledok, solusi-solusi konflik diperlukan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Dicari penyelesaian terbaik bagi pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang bertikai sehingga ketegangan-ketegangan, perbedaan-perbedaan kepentingan yang ada dapat diredam dan keputusan-keputusan dapat diterima oleh kedua pihak.
 Penyelesaian konflik harus dilaksanakan melalui pengelolaan yang profesional, kontekstual (sesuai dengan persoalan) dan rasional (dengan rekapitulasi untung dan rugi yang jelas). Mutrofin, dkk ( 2004: 25-26), didalam pengelolaan konflik harus mencari dan menemukan solusi yang bener-bener efektif dan efisien. Efektif artinya dapat mencapai sasaran untuk memberikan kepuasan kepada masing-masing pihak yang berkonflik sehingga tidak lagi menyimpan kekecewaan yang dapat kembali menimbulkan konflik. 
Sedangkan efisien yaitu penyelesaian konflik dengan pengorbanan sekecil-kecilnya baik materi maupun immateri.
 Elemen-elemen di dalam proses penyelesaian konflik (Francis, 2002: 57):
1. Analisis Konflik Dan Dinamika Konflik
Didalam penyelesaian konflik, proses analisis menjadi suatu hal yang mendasar untuk mengetahui terjadinya konflik. Dengan diadakannya analisis terhadap konflik yang terjadi, maka akan memudahkan membuat rumusan mengenai solusi-solusi yang dipakai untuk meredam konflik. Karena didalam pengelolaan konflik memerlukan konsep dan perhatian yang tidak hanya terletak pada persoalannya saja, namun juga terhadap kepentingan pihak-pihak yang berkonflik dan proses terjadinya konflik tersebut.
2. Teori Kebutuhan Manusia
John Burton (Francis, 2002: 60) berpendapat bahwa:
“ Kebutuhan yang tidak terpenuhi merupakan sebab yang paling sering terjadi dan sangat serius dalam konflik. Penyelesaian atau solusi-solusi konflik tidak mungkin tercapai tanpa dipenuhinya kebutuhan tersebut. 
Jika setiap pihak yang bertikai dapat mengetahui kebutuhannya masing-masing, mereka mungkin akan dapat melihat bahwa kebutuhan tersebut tidak perlu dicapai melalui konflik bersenjata atau kondisi tawar-menawar yang alot, namun melalui pencarian jalan untuk mempertemukan kebutuhan dari setiap pihak”.

Teori kebutuhan manusia menganggap bahwa konflik yang terjadi disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental, sosial) yang tidak terpenuhi. Kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi mendorong manusia untuk terus berusaha menguasai, demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan. Dengan terjadinya konflik, mereka mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.
3. Dialog, Negosiasi, dan Peran Pihak Ketiga
Dialog merupakan hal yang paling utama dari proses penyelesaian konflik. Dengan diadakannya dialog akan menyebabkan pihak-pihak yang terlibat konflik terfokus pada pencarian kesepakatan yang digambarkan sebagai negosiasi.
 Negosiasi sendiri merupakan sebuah proses tawar-menawar yang melibatkan pihak-pihak yang berkonflik demi mencapai kesepakatan antara pihak-pihak yang berkonflik. 
Dengan diadakannya proses negosiasi diharapkapkan tercipta suatu solusi yang saling menguntungkan (win-win solution). Karena pada dasarnya, tujuan dari peyelesaian konflik adalah mencari dan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan melalui proses kerja sama dari pada persaingan.
Namun kesepakatan atau solusi dari pihak-pihak yang berkonflik biasanya tidak terlepas dari peran pihak ketiga sebagai mediator atau penengah dari pihak-pihak yang bertikai. Peran dari pihak ketiga atau mediator sangat penting. Karena mediator merupakan pihak yang membawa pihak-pihak yang bertikai ke meja perundingan (negosiasi). Selain itu, mediator juga mempersiapkan dasar dari sebuah negosiasi serta berusaha memepersiapkan pihak-pihak yang berkonflik untuk memahami makna dari perdamaian.
 Penanganan konflik merujuk pada penyelesaian konflik nyata (manifes), yang ditandai dengan perubahan sikap, pandangan, tingkah laku, dan juga tujuan akhir pihak-pihak yang terlibat. Tujuan yang ingin dicapai dalam solusi konflik adalah menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang relatif dapat bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan (Liliweri 2005: 288).

1.6.3. Konsep Tentang Safety Valve Institution
 Seperti telah disinggung di muka, bahwa konflik merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dari sistem sosial masyarakat. Karena itu didalam sistem sosial masyarakat harus dilengkapi dengan lembaga katup penyelamat. Katup penyelamat merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.
Widodo (2007: 27-28) Savety valve dipandang sebagai bagian dari mekanisme kontrol sosial yang secara spesifik memberikan bertindak memberikan saluran konflik dan mencegah konflik yang lebih besar.

 Terkait dengan konflik antara pemilik ledok dan pemilik truk, yang berpotensi menimbulkan konflik yang lebih besar. Katup penyelamat bisa berfungsi sebagai “jalan keluar untuk meredam permusuhan”. Diharapkan dengan katup penyelamat, konflik yang terjadi pada pihak-pihak yang berkonflik tidak akan semakin tajam. Safety valve berfungsi mengatur kemungkinan konflik dan secara tidak langsung merintangi perkembangan kelompok-kelompok yang bertikai (pemilik ledok dan pemilik truk) yang bisa menimbulkan perubahan melalui konflik itu. 
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser dalam Poloma, (2000:109-110) sebagai berikut:
“Lewat katup penyelamat (safety valve) itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan objek aslinya. Tetapi pengartian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu. Mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah ,ataupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif”.

 Safety valve institution berfungsi untuk menyediakan obyek-obyek tertentu yang dapat mengalihkan perhatian pihak-pihak yang berkonflik agar tersalur ke arah atau hal lain. Tujuan utamanya adalah mengurangi ketegangan-ketegangan yang timbul dari situasi pertentangan tersebut.
Coser dalam Widodo (2007:27) menyatakan bahwa: 
“ Keberadaan institusi katup penyelamat sangat penting didalam masyarakat yang stuktur sosialnya tidak begitu elastis. Artinya sistem sosial dan mobilitas masyarakatnya cenderung rendah sehingga perubahan yang terjadi selalu dieliminir sedapat mungkin”.

 Katup penyelamat yang juga berfungsi mengarahkan konflik agar bersifat positif dan tidak merusak. Karena itu bentuk-bentuk katup penyelamat selalu berbeda ditiap masyarakat tergantung dari tipe konflik dan konteks sosial yang mempengaruhi. 
Berbeda dengan model-model solusi konflik yang lain, institusi katup penyelamat tidak dirancang untuk menyelesaikan konflik, namun sebatas meredakan ketegangan dan mencegah konflik yang lebih besar.
1.6.3. Tinjauan Dasar Hukum Pelarangan Pengoperasian Ledok
Menurut Pemerintah Kabupaten Blitar melalui Dinas Perhubungan Kabupaten Blitar, ada beberapa peraturan yang digunakan sebagai dasar hukum pelarangan pengoperasian ledok di Kabupaten Blitar. Dasar-dasar hukum tersebut antara lain: 
1. Undang-Undang No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.
Menurut undang-undang no 14 Tahun 1992 ini, terdapat pengertian tentang kendaraan dan kendaraan bermotor .

1.1. Pengertian Kendaraan Menurut UU No 14 Tahun 1992 Pasal 1
Kendaraan : suatu alat yang dapat bergerak di jalan terdiri dari kendaraan bermotor dan tidak bermotor.
Kendaraan bermotor : kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu. 
Kendaraan khusus : menyebutkan bahwa kendaraan khusus adalah kendaraan bermotor selain kendaraan bermotor untuk penumpang dan kendaraan bermotor untuk barang, yang penggunaannya untuk keperluan khusus atau mengangkut barang-barang khusus.

Berdasarkan undang-undang diatas, ledok merupakan kendaraan bermotor dan bukan kendaraan khusus. Disebut kendaraan bermotor dikarenakan ledok dilengkapi peralatan teknik untuk menggerakkannya. Peralatan teknik tersebut seperti mesin diesel sebagai mesin penyuplai tenaga, dan juga peralatan kemudi berupa chasis, alat kemudi dan juga ban. Namun belum dikategorikan sebagai kendaraan khusus, dikarenakan belum ada spesifikasi khusus ledok yang diakui oleh pemerintah.


2. Pasal 3 KM 9 Tahun 2004 tentang Pengujian Tipe Kendaraan Bermotor
Setiap kendaraan bermotor, kereta gandeng atau kereta tempelan sebelum disetujui untuk diimport atau diproduksi dan atau dirakit secara massal atau dimodifikasi wajib dilakukan uji tipe. 

3. Pasal 12 UU No 14 Tahun 1992
a. setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan dijalan harus sesuai dengan peruntukannya, memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan sesuai dengan kelas jalan yang dilalui
b. setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kendaraan khusus yang dibuat dan atau dirakit didalam negeri serta diimport, harus sesuai dengan peruntukkan dan kelas jalan yang akan dilaluinya serta wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.

Melihat peraturan-peraturan tertulis yang dikeluarkan pemerintah tersebut, ledok belum dikategorikan sebagai kendaraan yang legal formal yang diakui keberadaannya oleh pemerintah.

1.6.5 Tinjauan Mengenai Penelitian Terdahulu
Menurut Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Timur dalam penelitiannya yang dilakukan pada tahun 2003 yang berjudul Studi Pengoperasian dan Kelayakan Grandong di Daerah Jawa Timur , menunjukkan bahwa terdapat beberapa manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya ledok. Manfaat tersebut antara lain :
1. Memudahkan petani dalam mengelola hasil sawah dan ladangnya
2. Sebagai alat angkut hasil sawah dan ladang yang relatif lebih murah dibandingkan dengan alat angkut lainnya
3. Mewujudkan lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Namun demikian, keberadaan ledok ternyata juga menimbulkan pro-kontra bagi pemerintah daerah. Sebagian pemerintah daerah memperbolehkan beroperasinya ledok dengan pertimbangan manfaat-manfaat seperti yang telah disebutkan diatas. Namun sejumlah pemerintah daerah lainnya justru melarang pengoperasian ledok dengan berbagai pertimbangan, misalnya terdapat ledok yang tidak laik jalan, sehingga dianggap membahayakan lalu lintas dijalan. 
Ledok sebenarnya adalah alat angkut yang merupakan gabungan penerapan unsur teknologi modern dengan teknologi rekayasa, atau dapat dikatakan teknologi tradisional. Unsur modern ditunjukkan dengan adanya penggunaan mesin dengan bahan bakar. Unsur rekayasa atau tradisional ditunjukkan dengan adanya penggunaan barang bekas (rongsokan) dan rancang bangun yang dilakukan oleh bengkel las yang ada di pedesaan. Hal tersebut dapat diartikan dengan adanya proses modernisasi yang diadaptasi dan direkayasa oleh para pengguna ledok. Sehingga mereka mendapatkan suatu alat yang dianggap murah, tepat guna dan fungsional.

1.7. Metode dan Teknik Penelitian
Metode merupakan hal yang sangat penting untuk mendapatkan data-data yang obyektif agar kebenaran secara ilmiah dapat terwujud. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian deskriptif kualitatif. Dengan metode penelitian kualitatif, penulis berusaha untuk mengungkap suatu permasalahan dan memberikan gambaran sebagaimana adanya. 
Tujuan penulis melakukan penelitian dengan metode deskriptif kualitatif adalah untuk memberikan gambaran yang sistematis, aktual mengenai fakta-fakta yang terjadi pada daerah tertentu sebagai objek penelitian. 
Menurut Bogdan dalam Moleong (2001:3), penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. 



1.7.1. Lokasi Penelitian
 Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Blitar. Alasan pemilihan lokasi ini karena objek yang akan diteliti sesuai dengan permasalahan penelitian. Disamping itu, penelitian ini didasarkan pada fakta di lapangan, bahwa di Kabupaten Blitar banyak terdapat ledok dan truk yang keberadaan dua alat angkut tersebut telah mengakibatkan terjadinya konflik.
1.7.2. Teknik Penentuan Informan
 Informan merupakan orang yang dianggap memiliki data dan informasi yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Didalam penelitian kualitatif, jumlah informan tidak dibatasi jumlahnya. Karena didalam penelitian kualitatif, penelitian belum dapat dianggap selesai apabila data dan informasi yang diharapkan peneliti belum dapat terpenuhi.
 Didalam penentuan informan, penulis membagi menjadi dua:
Pertama informan pokok atau informan kunci, yaitu orang yang mengetahui langsung serta terlibat langsung dengan masalah yang akan dikaji.
 Kedua, informan tambahan, yaitu orang yang memiliki pengetahuan namun tidak terlibat langsung dalam masalah (konflik ledok).
Pada penelitian konflik ledok yang ada di Kabupaten Blitar ini, yang akan menjadi informan pokok adalah para pemilik ledok dan pemilik truk sebagai pihak yang terlibat langsung didalam konflik tersebut. Dan proses pengumpulan informasi terhadap informan pokok ini, penulis menggunakan teknik snowball.
Yang dimaksud teknik snowball menurut Moleong (2005: 75) adalah :
“menggali data melalui wawancara mendalam dari satu informan ke informan yang lainnya dan seterusnya sampai penelitian tidak menemukan informasi baru lagi, sudah mengalami kejenuhan dan informasi yang diperoleh tidak berkualitas lagi “.

Pengumpulan data akan dilakukan melalui wawancara langsung dengan pemilik truk dan pemilik ledok. Dengan menggunakan snowball, data yang terkumpul memiliki keragaman karena melibatkan pihak-pihak yang dianggap memahami seluk beluk konflik ledok tersebut.
 Pengumpulan informasi dilakukan dari informan awal atau informan kunci dan seterusnya kepada informan berikutnya. Pengumpulan data atau informasi dari informan ke informan berikutnya penulis hentikan apabila data yang telah diperoleh diyakini telah sampai pada titik jenuh. Artinya, data yang diperoleh sama saja dengan data dari informan sebelumnya.
Sedangkan untuk informan tambahan, penulis didalam proses pengumpulan data menggunakan teknik purposive sampling. Yang dimaksud dengan purposive sampling yaitu penentuan informan yang dilakukan dengan cara sengaja. Pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai kaitan dengan permasalahan yang hendak dijawab (Hadi, 1989:83). Jadi pada teknik purposive sampling, informan sudah ditentukan sebelum kita mencari informasi.
Teknik purposive sampling digunakan untuk mencari informasi kepada pihak-pihak yang tidak terlibat langsung didalam konflik, namun terlibat dalam pencarian jalan keluar atau pencarian model-model solusi yang dianggap mampu menyelesaikan konflik antara pemilik ledok dan pemilik truk tersebut. Pihak-pihak tersebut antara lain Dinas Perhubungan, Dinas Perdagangan dan Pertambangan, Badan Penelitian Dan Pengembangan Daerah serta pihak Kepolisian Resort Blitar sebagai pihak-pihak yang terlibat langsung dalam mencari jalan keluar dari konflik tersebut. Selain itu DPRD Kabupaten Blitar khususnya Komisi I sebagai pihak yang dituju oleh pihak-pihak yang berkonflik untuk menyampaikan pendapatnya. DPRD juga memfasilitasi pertemuan antara pemilik ledok, pemilik truk dan pemerintah Kabupaten Blitar.

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data
 Dalam proses pengumpulan data, terdapat dua tipe yang dipakai, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang secara langsung dikumpulkan dari sumber pertama atau para informan. Sedangkan data sekunder adalah data yang berupa dokumen atau yang berbentuk lainnya.
 Untuk mendapatkan data tersebut, ada beberapa metode yang dipakai, diantaranya;
a. Observasi
Metode observasi ini dilakukan untuk mencari data melalui pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fakta-fakta dan gejala-gejala yang ada di dalam proses penelitian. 
Selain itu, peneliti juga akan mencari informasi langsung terhadap informan kunci mengenai orang-orang yang pernah atau terlibat dalam konflik ledok ini.
Dalam penelitian ini, peneliti secara langsung berinteraksi dengan para pemilik ledok, pemilik truk, pegawai-pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Blitar yang terlibat langsung dalam perumusan kebijakan konflik ledok. Selain kepada pihak-pihak yang terlibat langsung dengan konflik, peneliti juga akan berinteraksi kepada orang-orang atau lembaga yang tidak terlibat langsung dalam konflik, tetapi mengetahui terjadinya konflik tersebut. Peneliti akan menanyakan langsung informasi-informasi yang penulis inginkan.
 Dengan teknik observasi ini, dalam proses penggalian data, peneliti akan mendapat data yang maksimal.
b. Wawancara 
Metode wawancara merupakan salah satu cara yang dipergunakan untuk mencari data atau informasi dengan berhadapan langsung dengan informan. Seperti yang diungkapkan oleh Mol
Wawancara dilakukan dengan cara melakukan percakapan secara langsung terhadap informan utama atau key informan (informan kunci) yaitu pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam konflik pemilik ledok dan pemilik truk, serta pihak-pihak yang membuat aturan atau regulasi terkait konflik ledok. Dan juga kepada informan tambahan, yang mengetahui terjadinya konflik, namun tidak terlibat langsung dalam konflik.
Dalam mencatat informasi, penulis menggunakan wawancara tidak berstruktur sehingga informasi yang keluar mengalir dengan sendirinya tanpa ada perasaan untuk ditekan oleh pewawancara. Dengan metode ini diharapkan data yang digali atau informasi yang diperoleh lebih mendalam dan valid.



c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang bertujuan untuk menunjang terhadap metode observasi dan metode wawancara, yaitu dengan cara mengumpulkan data berupa tulisan-tulisan dari koran-koran, arsip-arsip atau dokumen yang berhubungan dengan konflik ledok tersebut. Dengan adanya dokumentasi tersebut memudahkan peneliti dalam menganalisa data di lapangan.
d. Uji Keabsahan Data
Keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi. Triangulasi yaitu membandingkan data yang diperoleh. Yaitu dengan mengkonfirmasi ulang hasil pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti terhadap informan dengan melakukan uji silang terhadap data-data yang diperoleh.
Triangulasi juga dapat dilakukan dengan menguji pemahaman peneliti dengan pemahaman informan tentang hal-hal yang diinformasikan informan kepada peneliti. Proses dialog yang akan terjadi, yaitu peneliti sebagai pihak yang mencari informasi dan informan sebagai pihak yang memberikan informasi. Sehingga dengan adanya proses triangulasi ini diperoleh data yang akurat.
e. Analisa Data
Dalam penulisan ini, peneliti untuk menganalisa data dengan menggunakan metode deskriptif. Menurut Moleong (2005:6) deskriptif kualitatif adalah suatu analisa yang menggambarkan obyek penelitian yang berupa kata-kata, gambar dan bukan angka. Berdasarkan pemahaman tersebut penelitian ini akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran tentang fenomena konflik yang terjadi di lapangan. Penulis akan menganalisis mengenai model-model solusi konflik sebagai upaya untuk meredakan konflik, beserta proses terjadinya solusi tersebut hingga tercapainya solusi-solusi antar pihak-pihak yang terlibat konflik.
Dalam proses analisis data ini, nantinya penulis akan lebih memprioritaskan data-data yang berupa kutipan ungkapan-ungkapan informan sesuai dengan masalah yang dikemukakan dalam penelitian, yang kemudian dianalisa secara deskriptif kualitatif. 

DAFTAR PUSTAKA

Basrowi, M.S. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor : Ghalia Indonesia.

Bungin, Burhan. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif (Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragan Varian Kontemporer). Jakarta: Rajawali Pers. 

Dinas Perhubungan Propinsi Jawa Timur. 2003. Studi Pengoperasian Dan Kelayakan Gerandong Di Daerah Jawa Timur. Surabaya : Dishub Jatim.

Francis, Diana. 2006. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta: Quillis

Hadi, Sutrisno. 1989. Metodologi Research III. Yogyakarta: Andi Offset.
   
Hadi, Sutrisno. 1990. Metodologi Research IV. Yogyakarta: Andi Offset. 

Kusnadi. 2006. Konflik Sosial Nelayan (Kemiskinan dan perebutan Sumber Daya Perikanan).Yogyakarta : LKiS.

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka Dan Konflik. Yogyakarta: LkiS.

Moleong, Lexy J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 

. 2005. Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 

Mutrofin,dkk. 2004. Dinamika Konflik Dalam Transisi Demokrasi, Yogyakarta:Institut Pengembangan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (INPEDHAM).

Poloma M, Margaret. 2000. Sosiologi Kontemporer, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada. 

Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia (Suatu Pengantar). Bogor : Ghalia Indonesia.
 
Ritzer, G dan Goodman, Douglas. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.

Sudjana, Eggi. 2002. Buruh Menggugat (Perspektif Islam). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sumarsono, Sonny. 2008. Strategi Pemulihan Sampit. Jember: Penerbit FE UNEJ.

Susetiawan. 2000. Konflik Sosial : Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan Dan Negara Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widodo, Agustinus.2007. Analisa Sumpah Pocong Sebagai Resolusi Konflik (Study Pemaknaan Bagi Kalangan Etnis Pendhalungan Di Kabupaten Jember) Skripsi Tidak Dipublikasikan.Sosiologi FISIP Universitas Jember.
  
BPS. 2003. Statistik Indonesia (Statistical Year Book of Indonesia). Jakarta : Badan Pusat Statistik (BPS) RI.

 . 2005. Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta : Badan Pusat Statistik (BPS) RI. 
  
Website:  
www.surya.co.id/ledok / artikel/ (13 Agustus 2007)
www.wmc-iainws.com/detail/artikel
www. tempointeraktif.com/kemiskinan/artikel (7 September 2004)

Sumber lain:
Telaah staf. Dinas Perhubungan Kabupaten Blitar. No 551.231/ /PKB/409.106/2006.








1 komentar:

  1. Mungkin paragrafnya mau dirapikan? Semoga skripsimu "ber-rasa" sosiologis.

    BalasHapus